Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di
tanah Jawa pada abad ke-17. Mereka
menyebarkan agama islam menggunakan berbagai sarana..Salah satu sarana yang
mereka gunakan sebagai media dakwah mereka adalah wayang.
Kesenian wayang kulit telah mendarah
daging pada masyarakat Indonesia (khususnya Jawa dan Bali) sehingga sulit untuk
menghilangkan dan menggantinya dengan kebudayaan Islam. Karena kesulitan untuk
menghilangkan sesuatu yang telah melekat di dalam hati, maka para Wali Songo
tidak kehilangan akal. Agar dakwah yang mereka lakukan berjalan lancar, maka
salah satu cara yang ditempuhnya adalah dengan cara memasukkan ajaran Islam ke
dalam pertunjukan wayang kulit.
Sunan Kalijaga mementaskan Wayang kulit dengan cerita dan dialog sekitar Tasawuf dan akhlaqul karimah, untuk melemahkan masyarakat yang pada waktu itu beragama Hindu dan Budha yang ajarannya berpusat pada kebatinan. Pada masa itu saat Majapahit masih cukup berkuasa, Sunan Kalijaga berusaha memasukan unsur-unsur Islam yang kompleks dalam kisah pewayangan yang sudah mendarah daging di kalangan penduduk Majapahit. Dengan melakonkan cerita Mahabarata, para mubaligh dapat memasukkan unsur-unsur sendi kepercayaan atau aqidah, ibadah dan juga akhlaqul-karimah. Sehingga pada masa itu wayang dijadikan sebuah alat metode dakwah Islam oleh para wali dan mubaligh dengan tujuan supaya pengikut agama Islam bertambah banyak khususnya di wilayah Jawa.
Sunan Kalijaga mementaskan Wayang kulit dengan cerita dan dialog sekitar Tasawuf dan akhlaqul karimah, untuk melemahkan masyarakat yang pada waktu itu beragama Hindu dan Budha yang ajarannya berpusat pada kebatinan. Pada masa itu saat Majapahit masih cukup berkuasa, Sunan Kalijaga berusaha memasukan unsur-unsur Islam yang kompleks dalam kisah pewayangan yang sudah mendarah daging di kalangan penduduk Majapahit. Dengan melakonkan cerita Mahabarata, para mubaligh dapat memasukkan unsur-unsur sendi kepercayaan atau aqidah, ibadah dan juga akhlaqul-karimah. Sehingga pada masa itu wayang dijadikan sebuah alat metode dakwah Islam oleh para wali dan mubaligh dengan tujuan supaya pengikut agama Islam bertambah banyak khususnya di wilayah Jawa.
Dalam hal esensi yang disampaikan dalam
cerita-ceritanya tentunya disisipkan unsur-unsur moral ke-Islaman. Dalam lakon Bima Suci misalnya,
Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan menyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa.
Tuhan Yang Esa itulah yang menciptakan dunia dan segala isinya. Tak berhenti di
situ, dengan keyakinannya itu Bima mengajarkannya kepada saudaranya, Janaka.
Lakon ini juga berisi ajaran-ajaran tentang menuntut ilmu, bersikap sabar,
berlaku adil, dan bertatakrama dengan sesama manusia.
oleh Ghina Aldila Cahyani x ipa 1 (18)
Kesenian wayang kulit telah mendarah daging pada masyarakat Indonesia (khususnya Jawa dan Bali) sehingga sulit untuk menghilangkan dan menggantinya dengan kebudayaan Islam. Karena kesulitan untuk menghilangkan sesuatu yang telah melekat di dalam hati, maka para Wali Songo tidak kehilangan akal. Agar dakwah yang mereka lakukan berjalan lancar, maka salah satu cara yang ditempuhnya adalah dengan cara memasukkan ajaran Islam ke dalam pertunjukan wayang kulit.
Sunan Kalijaga mementaskan Wayang kulit dengan cerita dan dialog sekitar Tasawuf dan akhlaqul karimah, untuk melemahkan masyarakat yang pada waktu itu beragama Hindu dan Budha yang ajarannya berpusat pada kebatinan. Pada masa itu saat Majapahit masih cukup berkuasa, Sunan Kalijaga berusaha memasukan unsur-unsur Islam yang kompleks dalam kisah pewayangan yang sudah mendarah daging di kalangan penduduk Majapahit. Dengan melakonkan cerita Mahabarata, para mubaligh dapat memasukkan unsur-unsur sendi kepercayaan atau aqidah, ibadah dan juga akhlaqul-karimah. Sehingga pada masa itu wayang dijadikan sebuah alat metode dakwah Islam oleh para wali dan mubaligh dengan tujuan supaya pengikut agama Islam bertambah banyak khususnya di wilayah Jawa.
Dalam hal esensi yang disampaikan dalam cerita-ceritanya tentunya disisipkan unsur-unsur moral ke-Islaman. Dalam lakon Bima Suci misalnya, Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan menyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Esa itulah yang menciptakan dunia dan segala isinya. Tak berhenti di situ, dengan keyakinannya itu Bima mengajarkannya kepada saudaranya, Janaka. Lakon ini juga berisi ajaran-ajaran tentang menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertatakrama dengan sesama manusia.
kwwkwkwkk